BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Air merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi
kehidupan, tanpa air tidak akan ada kehidupan. Dalam kenyataannya air bukan
hanya dibutuhkan manusia saja, air juga merupakan bahan yang mutlak harus ada
baik untuk tumbuhan, hewan, maupun mikroorganisme, oleh karena air berfungsi
dalam pertumbuhan dan perkembangan organisme hidup.
Air sering tercemar oleh komponen-komponen an
organik,diantaranya berbagai logam berat yang berbahaya. Beberapa logam berat
tersebut banyak digunakan dalam berbagai keperluan, oleh karena itu diproduksi
secara rutin dalam skala industri. Industri-industri logam berat tersebut seharusnya
mendapat pengawasan yang ketat sehingga tidak membahayakan bagi
pekerja-pekerjanya maupun lingkungan di sekitarnya. Penggunaan logam-logam
berat tersebut dalam berbagai keperluan sehari-hari berarti secara langsung
maupun tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja telah mencemari lingkungan.
Beberapa logam berat tersebut ternyata telah mencemari lingkungan melebihi
batas yang berbahaya bagi kehidupan (Fardiaz, 1992)
Pencemaran logam berat
merupakan masalah yang serius terhadap kondisi lingkungan saat ini. Logam berat
banyak ditemukan hampir pada semua jenis limbah industri (jaleel et al.,
2009a dalam Jaleel et al 2009b
:120). Semakin banyaknya industri akan menyebabkan peningkatan pencemaran
terhadap sumber-sumber air yang berasal dari limbah industri yang dibuang ke
perairan tanpa pengolahan terlebih dahulu. Keadaan ini akan bertambah buruk
apabila perairan yang sudah tercemar tersebut digunakan menjadi irigasi
pertanian dan menjadi sumber air yang digunakan masyarakat (Tn 2002 dalam
Hussain et al., 2006: 1389).
Pencemaran
lingkungan oleh logam berat yang berasal dari berbagai aktivitas manusia, seperti
di bidang industri, pertambangan dan metalurgi memberikan dampak negatif bagi
ekosistem dunia. Pencemaran yang berasal dari limbah cair industri, biasanya mengandung
logam berat seperti krom, kadmium, raksa dan timbal yang semula dalam
konsentrasi keeil, namun selanjutnya akan mengalami pemekatan dan menimbulkan
dampak negatif khususnya terhadap kesehatan man usia.
Salah satu logam berat yang membahayakan adalah
kromium. Kromium umumnya ditemukan pada limbah industri elektroplating,
finishing logam (mencapai 10 mg/L), serta penyamakan kulit. Diantara beberapa
bilangan oksida dari kromium (di, tri, penta dan heksa), kromium trivalen dan
heksavalen keduanya paling banyak terdapat di dalam lingkungan air. Kromium
trivalen mempunyai tingkat toksisitas yang lebih rendah dibandingkan kromium heksavalen,
namun dalam jangka panjang dapat mengakibatkan alergi serta kanker yang
membahayakan manusia.
Adanya logam berat dalam lingkungan perairan telah
diketahui dapat menyebabkan beberapa kerusakan pada kehidupan air, di samping
itu terdapat fakta bahwa logam tersebut membunuh mikroorganisme selama
perlakuan biologis pada limbah sebagai akibat kelambatan proses pemurnian air.
Hampir semua garam–garam logam berat dapat larut dalam air dan membentuk
larutan sehingga tidak dapat dipisahkan dengan pemisahan fisik yang sudah biasa
(Hussein, 2004).
Fitoremediasi adalah salah satu jalan untuk
menyelesaikan permasalahan pencemaran logam berat dengan menggunakan tanaman,
dalam prosesnya polutan dikumpulkan pada suatu jaringan dan didekomposisikan
menjadi bentuk yang tidak berbahaya atau di timbun pada jaringan tanaman
(Bennicelli et al., (2003). Banyak tumbuhan yang dapat menyerap logam berat dan
disebut sebagai tumbuhan hiperakumulator seperti azolla (Bennicelli et al.,
2003),encen gondok(Victor, et all., 2007), dan kiambang
(Dhir, 2009).
Beberapa percobaan yang
menggunakan fitoremidiasi diantaranya adalalah Fitoremediasi Radionuklida 134Cs Dalam Tanah Menggunakan Tanaman Bayam
(Amaranthus sp.) dan penelitian tentang Fitoremediasi
Air Terkontaminasi Nikel dengan Menggunakan Tanaman Ki Ambang (Salvinia
molesta). Fitoremediasi Radionuklida 134Cs Dalam Tanah Menggunakan Tanaman
Bayam (Amaranthus sp.) Salah satu metode pemulihan kualitas lingkungan tercemar
adalah menggunakan teknik
fitoremediasi. Fitoremediasi didefinisikan sebagai teknologi pembersihan, penghilangan atau pengurangan zat pencemar dalam
tanah atau air dengan menggunakan bantuan tanaman. Penelitian fitoremediasi radionuklida 134Cs dalam
tanah telah dilakukan menggunakan tanaman bayam dengan tujuan melihat kemampuan tanaman bayam dalam
menyerap dan memindahkan radionuklida 134Cs dari dalam tanah ke tanaman bayam, serta
kemungkinannya digunakan sebagai fitoremediator radionuklida 134Cs dalam tanah.
Penelitian ini bertujuan juga untuk melihat
pengaruh penambahan EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic
Acid) pada proses pelepasan radionuklida
134Cs dalam tanah dan yang diserap oleh tanaman. Kegiatan
penelitian dilakukan dengan menanam tanaman
bayam pada media tanah yang dikontaminasi radionuklida
134Cs dengan konsentrasi awal 121,09 Bq/g
dan 134Cs+EDTA dengan konsentrasi awal 122,08 Bq/g. Sebagai
pembanding dilakukan penanaman tanaman
bayam pada media tanah yang tidak dikontaminasi 134Cs.
Pengamatan dilakukan seminggu sekali dengan
cara mengambil 3 sampel tanaman dan tanah di sekitar
tanaman, yang dikontaminasi maupun
pembanding. Sampel tanaman dipisahkan antara bagian akar, batang,
dan daun. Sampel tanaman dan tanah
dikeringkan dengan oven lalu ditimbang dan dicacah dengan
spektrometer gamma. Dari hasil pencacahan
diperoleh bahwa konsentrasi radionuklida 134Cs dalam tanah
berkurang, sementara di tanaman bayam
meningkat. Dari perhitungan diperoleh faktor transfer radionuklida
134Cs dari tanah ke tanaman adalah 34,80
untuk media tanah yang diberi kontaminasi 134Cs dan 43,58 untuk
media tanah yang diberi kontaminasi
134Cs+EDTA. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tanaman
bayam dapat digunakan sebagai
fitoremediator tanah yang terkontaminasi radionuklida Cs. Dengan
penambahan EDTA, radionuklida 134Cs yang
terikat dalam tanah mudah terlepas sehingga banyak berada
dalam rongga tanah dan diserap oleh
tanaman.
Penelitian
tentang fitoremediasi air terkontaminasi nikel dengan menggunakan tanaman Ki
Ambang (Salvinia molesta). Studi terdahulu oleh Srivastav (1994), menunjukkan
bahwa Salvinia molesta mampu mengurangi kandungan nikel dalam media
fitoremediasi dengan prosentase penurunan ion logam nikel dalam media
fitoremediasi mencapai 56-96 % dalam waktu 14 hari. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui besarnya akumulasi Ni pada organ akar dan non akar (batang dan
daun) pada Salvinia molesta dan nilai Faktor Transfer (FT). Media fitoremediasi
berupa larutan NiCl2 dengan konsentrasi 0, 3 dan 6 mg/l dimasukkan dalam 3 bak
dengan volume masing-masing bak sebanyak 2,5 liter. Salvinia molesta yang
digunakan sebanyak 140 gram berat basah untuk masing-masing bak perlakuan.
Pengukuran konsentrasi Ni dalam tanaman dan media dilakukan pada hari ke 0, 6
dan 12 menggunakan AAS. Data konsentrasi Ni pada tanaman dan media digunakan
untuk menghitung Faktor Transfer (FT) yang kemudian dianalisa secara deskriptif
kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akumulasi Ni di organ akar
lebih tinggi daripada di organ non akar (batang dan daun). Hasil pengukuran
konsentrasi Ni pada organ akar pada hari ke-0, 6 dan 12 untuk kontrol adalah
0,04; 0,03 dan 0,05 mg/kg, konsentrasi NiCl2 3 mg/l sebesar 0,15; 1,38 dan 2,3
dan konsentrasi NiCl2 6 mg/l sebesar 0,13; 2,63 dan 5,13 mg/kg. Sedangkan pada
organ non akar untuk kontrol sebesar 0,02; 0,07 dan 0,04 mg/kg, konsentrasi
NiCl2 sebesar 0,15; 0,59 dan 1,09 mg/kg dan konsentrasi NiCl2 6 mg/l sebesar
0,13; 0,98 dan 4,3 mg/kg. Nilai Faktor Transfer (FT) tertinggi diperoleh pada
hari ke-12 pemaparan untuk konsentrasi NiCl2 3 mg/l yaitu sebesar 4,75 l/kg,
sehingga Salvinia molesta dapat dikategorikan sebagai metal accumulator
species.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah dipaparkan, maka perumusan masalah adalah bagaimana daya
serap tumbuhan eceng gondok terhadap logam Cr (III)
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan
dari penelitian ini adalah mengetahui sejauh mana daya serap tumbuhan eceng
gondok terhadal logam Cr (III)
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Sebagai
informasi bagaimana daya serap eceng gondok terhadap logam Cr (III)
2. Sebagai
dasar penelitian yang lebih lanjut tentang penggunaan eceng gondok untuk
bioremediasi limbah berbahaya
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
2.1 Eceng Gondok
Eceng Gondok
adalah Tanaman asal Brasil yang
didatangkan Kebun Raya Bogor pada tahun 1894, dahulu merupakan tanaman hias
yang digandrungi karena bunganya yang berwarna ungu sangat menarik sebagai
penghias kolam seperti Teratai. Eceng gondok atau enceng gondok (Eichhornia crassipes)
adalah salah satu jenis tumbuhan air
mengapung. Selain dikenal dengan nama eceng gondok, di beberapa daerah di Indonesia,
eceng gondok mempunyai nama lain seperti di daerah Palembang
dikenal dengan nama Kelipuk, di Lampung
dikenal dengan nama Ringgak, di Dayak
dikenal dengan nama Ilung-ilung, di Manado
dikenal dengan nama Tumpe. Eceng gondok pertama kali ditemukan secara tidak
sengaja oleh seorang ilmuwan bernama Carl Friedrich
Philipp von Martius, seorang ahli botani
berkebangsaan Jerman
pada tahun 1824 ketika sedang melakukan ekspedisi di Sungai Amazon
Brasil.
Eceng gondok memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi sehingga tumbuhan ini
dianggap sebagai gulma
yang dapat merusak lingkungan perairan. Eceng gondok dengan mudah menyebar
melalui saluran air ke badan air lainnya. (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/EcengGondok.html)
Eceng
Gondok yang bahasa latinnya bernama Eichornia Crassipes, merupakan
gulma air yang sering bikin gondok para petani, karena tumbuh di sawah berebut
unsur hara dengan tanaman budidaya (padi). Eceng gondok hidup mengapung di
air dan kadang-kadang berakar dalam tanah. Tingginya sekitar 0,4 - 0,8 meter.
Tidak mempunyai batang. Daunnya tunggal dan berbentuk oval. Ujung dan
pangkalnya meruncing, pangkal tangkai daun menggelembung. Permukaan daunnya
licin dan berwarna hijau. Bunganya termasuk bunga majemuk, berbentuk bulir,
kelopaknya berbentuk tabung. Bijinya berbentuk bulat dan berwarna hitam.
Buahnya kotak beruang tiga dan berwarna hijau. Akarnya merupakan akar serabut.
Eceng Gondok yang pada
mulanya hanya dikenal sebagai tanaman gulma air, karena pertumbuhannya yang
begitu cepat sehingga menutupi permukaan air, dan menimbulkan dampak pada
menurunnya produksi di sektor perikanan juga menimbulkan permasalahan
lingkungan lainnya, seperti cepatnya penguapan perairan. Namun, dilain sisi
Eceng Gondok juga memberikan nilai tambah yang cukup prospektif.
2.2
Klasifikasi Eceng
Gondok
·
Genus :
Eichhornia
Tanaman eceng gondok
merupakan tanaman air yang mempunyai beberapa keunggulan
dalam kegiatan fotosintesis, penyediaan oksigen, dan penyerapan sinar
matahari. Bagian dinding permukaan akar, batang, dan daunmemiliki lapisan yang
sangat peka sehingga pada kedalaman yang ekstrem sampai8 meter
dibawah permukaan air masih mampu menyerap sinar matahari serta zat-zat yang
terlarut dibawah permukaan air. Akar, batang dan daunya juga
memilikikantung-kantung udara sehingga mampu mengapung di air.
Tangkai
eceng gondok menggembung, di dalam gembungannya tersebut terdapat udara yang
berfungsi membantu pengapungan tanaman pada permukaan air.udara
yang terdapat di dalam rongga udara ini diperoleh dari hasilfotosintesis.
Menurut Pandey ( 1980 ) Rongga udara selain sebagai alat pengapungan juga berfungsi
sebagai tempat penyimpanan oksigen dari prosesfotosintesis. Oksigen ini
digunakan untuk respirasi tumbuhan di malam haridengan
menghasilkan karbondioksida yang akan terlepas ke dalam air.
Eceng gondok tumbuh di
kolam-kolam dangkal, tanah basah dan rawa, aliran air yang lambat, danau,
tempat penampungan air dan sungai. Tumbuhan ini dapat beradaptasi dengan
perubahan yang ekstrem dari ketinggian air, arus air, dan perubahan
ketersediaan nutrien, pH, temperatur dan racun-racun dalam air.[3]
Pertumbuhan eceng gondok yang cepat terutama disebabkan oleh air yang
mengandung nutrien yang tinggi, terutama yang kaya akan nitrogen,
fosfat
dan potasium
(Laporan FAO).
Kandungan garam dapat menghambat pertumbuhan eceng gondok seperti yang terjadi
pada danau-danau di daerah pantai Afrika Barat,
di mana eceng gondok akan bertambah sepanjang musim hujan
dan berkurang saat kandungan garam naik pada musim kemarau.
(sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/EcengGondok.html)
Berikut ini adalh
bagian-bagian dari enceng gondok :
a. Akar
Bagian ini ditumbuhi
dengan bulu-bulu akar yang berserabut berfungsi untuk pegangan atau jangkar
tanaman.peran akar enceng gondok lebih ke kemampuannya menyerap zat-zat yang
diperlukan dalam air. Pada ujung akar terdapat kantung akar yang mana dibawah
sinar matahari akan berwarna merah, susunan akarnya dapat mengumpulkan lumpur
dan partikel-partikel zat yang terlarut dalam air.
b. Daun
Tergolong makrofita
yang terletak diatas permukaan air yang didalamnya terdapat rongga udara
sebagai alat pengapung tanaman. Permukaan atas daun dipenuhi mulut daun dan
bulu daun.
c. Tangkai
Tangkai enceng gondok
berbentuk bulat menggelembung yang didalamnya penuh dengan rongga udara yang
berperan untuk mengapungkan tanaman dipermukaan air.
2.3
Penyerapan enceng gondok terhadap logam berat
Dewasa
ini, pencemaran logam berat merupakan salah satu permasalahan yang banyak
dihadapi oleh ekosistem perairan. Umumnya, upaya penanganan pencemaran logam
berat memerlukan biaya yang cukup mahal. Namun, eceng gondok menawarkan
pemecahan masalah tersebut dengan biaya yang cukup murah. Beberapa logam berat
yang sering mencemari ekosistem perairan diantaranya Fe, Mg, Mn, Pb, dan Ni.
Tanaman eceng gondok ini ternyata mempunyai peranan
yang besar dalam menurunkan kadar bahan pencemar di lingkungan. Bebempa tumbuhan
air yang dapat menyerap logam-logam berat antara lain kayu apu, eceng gondok,
kayambang, teratai dan lainnya. Tumbuhan air ini mampu menurunkan kadar logam
berat termasuk logam krom (Cr) yang ada pada perairan (Ulfin,2000). Eceng
gondok selama ini lebih dikenal sebagai tanaman gulma alias hama. Padahal,
eceng gondok sebenarnya punya kemampuan menyerap logam berat. Kemampuan ini
telah diteliti di laboratorium Biokimia, Institut Pertanian Bogor, dengan hasil
yang sangat luar biasa.
Walaupun eceng gondok
dianggap sebagai gulma di perairan, tetapi sebenarnya ia berperan dalam
menangkap polutan logam berat. Rangkaian penelitian seputar kemampuan eceng
gondok oleh peneliti Indonesia antara lain oleh Widyanto dan Susilo (1977) yang
melaporkan dalam waktu 24 jam eceng gondok mampu menyerap logam kadmium (Cd),
merkuri (Hg), dan nikel (Ni), masing-masing sebesar 1,35 mg/g, 1,77 mg/g, dan
1,16 mg/g bila logam itu tak bercampur. Eceng gondok juga menyerap Cd 1,23
mg/g, Hg 1,88 mg/g dan Ni 0,35 mg/g berat kering apabila logam-logam itu berada
dalam keadaan tercampur dengan logam lain. Lubis dan Sofyan (1986) menyimpulkan
logam chrom (Cr) dapat diserap oleh eceng gondok secara maksimal pada pH 7.
Dalam penelitiannya, logam Cr semula berkadar 15 ppm turun hingga 51,85 persen.
Selain
dapat menyerap logam berat, eceng gondok dilaporkan juga mampu menyerap
residu pestisida, contohnya residu 2.4-D dan paraquat.
Pada percobaan Chossi dan Husin (1977) diketahui eceng gondok mampu menyerap residu dari larutan yang mengandung 0,50 ppm 2.4-D sebanyak 0,296 ppm dan 2,00 ppm 2.4-D sebanyak 0,830 ppm dalam waktu 96 jam.
Adapun paraquat yang diserap oleh eceng gondok dari dua kadar, yaitu 0,05 ppm dan 0,10 ppm masing-masing adalah 0,02 ppm dan 0,024 ppm.
Dari hasil penelitian-penelitian itu dapat disimpulkan ternyata eceng gondok tidaklah sia-sia dicipta oleh Tuhan Yang Maha Esa, apalagi sebagai pengganggu manusia. Eceng gondok dapat dinyatakan sebagai pembersih alami perairan waduk atau danau terhadap polutan, baik logam berat maupun pestisida atau yang lain.
Pada percobaan Chossi dan Husin (1977) diketahui eceng gondok mampu menyerap residu dari larutan yang mengandung 0,50 ppm 2.4-D sebanyak 0,296 ppm dan 2,00 ppm 2.4-D sebanyak 0,830 ppm dalam waktu 96 jam.
Adapun paraquat yang diserap oleh eceng gondok dari dua kadar, yaitu 0,05 ppm dan 0,10 ppm masing-masing adalah 0,02 ppm dan 0,024 ppm.
Dari hasil penelitian-penelitian itu dapat disimpulkan ternyata eceng gondok tidaklah sia-sia dicipta oleh Tuhan Yang Maha Esa, apalagi sebagai pengganggu manusia. Eceng gondok dapat dinyatakan sebagai pembersih alami perairan waduk atau danau terhadap polutan, baik logam berat maupun pestisida atau yang lain.
Rangkaian penelitian
seputar kemampuan eceng gondok dalam menyerap logam berat oleh peneliti
Indonesia sudah di lakukan antara lain oleh Widyanto dan Susilo (1977) yang
melaporkan dalam waktu 24 jam eceng gondok mampu menyerap logam kadmium (Cd),
merkuri (Hg), dan nikel (Ni), masing- masing sebesar 1,35 mg/g, 1,77 mg/g, dan
1,16 mg/g bila logam itu tak bercampur. Eceng gondok juga menyerap Cd 1,23
mg/g, Hg 1,88 mg/g dan Ni 0,35 mg/g berat kering apabila logam-logam itu berada
dalam keadaan tercampur dengan logam lain. Lubis dan Sofyan (1986) menyimpulkan
logam chrom (Cr) dapat diserap oleh eceng gondok secara maksimal pada pH 7.
Dalam penelitiannya, logam Cr semula berkadar 15 ppm turun hingga 51,85 %.
Sedangkan penelitian Tommy (2009) juga menunjukkan bahwa eceng gondok mampu
menyerap logam berat sampai 42,42 ppm dan masih banyak lagi penelitian –
penelitian tentang kemampuan eceng gondok dalam menyerap logam berat sampai
saat ini.
Menurut Widyanto dan
Suselo (1977), kemampuan eceng gondok dalam menyerap logam berat tergantung
pada beberapa hal, seperti jenis logam berat dan umur gulma. Penyerapan logam
berat per satuan berat kering tersebut lebih tinggi pada umur muda daripada
umur tua. Logam berat beracun yang dapat diserap oleh eceng gondok terhadap
berat keringnya adalah Cd (1,35 mg/g), Hg (1,77 mg/g), dan Ni (1,16 mg/g)
dengan larutan yang masing-masing mengandung logam berat sebesar 3 ppm.
Muramoto dan Oki (1983) mengungkapkan, eceng gondok mampu menyerap logam berat
Cd sebesar 1,24 mg/g; Pb sebesar 1,93 mg/g; dan Hg sebesar 0,98 mg/g terhadap
berat keringnya yang ditumbuhkan dalam media yang mengandung logam berat 1 ppm.
Sementara itu, hasil percobaan Chigbo et al. (1980) menunjukkan, Hg dan As yang
mampu diserap oleh logam berat masing-masing sebesar 2,23 dan 3,28 mg/g dari
berat keringnya.
2..4
Logam Kromium
Kromium
adalah sebuah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki lambang Cr dan nomor atom 24. Kromium trivalen (Cr(III),
atau Cr3+) diperlukan dalam jumlah kecil dalam metabolisme
gula
pada manusia. Kekurangan kromium trivalen dapat menyebabkan penyakit yang
disebut penyakit kekurangan kromium
(chromium deficiency).
Kromium merupakan logam tahan korosi (tahan karat) dan dapat
dipoles menjadi mengkilat. Dengan sifat ini, kromium (krom) banyak digunakan
sebagai pelapis pada ornamen-ornamen bangunan, komponen kendaraan, seperti
knalpot pada sepeda motor, maupun sebagai pelapis perhiasan
seperti emas,
emas yang dilapisi oleh kromium ini lebih dikenal dengan sebutan emas putih.
Logam kromium
bersifat keras, memiliki daya tahan tinggi terhadap zat-zat kimia dan memiliki
kilat tinggi sehingga dipakai sebagai pelapis pada besi. Tingkat oksidasi utama
bagi kromium
adalah +2, +3, dan +6. yang paling stabil adalah +3. senyawa Cr (IV) dan (V)
mudah mengalami proses disproporsional menjadi Cr (III) dan juga Cr (VI). Cr
(III) bersifat reduktor sedangkan Cr (IV) bersifat oksidator, ion kromat
berwarna kuning dan ion dikromat berwarna jingga. Bila nilai pH larutan kromat
dikurangi (ditambah asam), maka larutan berubah warna sampai munculnya warna
jingga dari ion dikromat. Reaksi ini bisa dibalikkn dengan meningkatnya nilai
pH (Swarat, 2003).
Kromium tahan korosi, karenanya digunakan sebagai lapisan pelindung pada lapisan
elektrofilik. Ia mudah larut dalam HCl, H2SO4, dan HClO4
tetapi menjadi pasif oleh HNO3 (Cotton dan Wilkinson, 1989). Ion
kromium (II), Cr2+
diturunkan dari kromium (II)
oksida, CrO.
Ion ini membentuk larutan yang berwarna biru. Ion kromium (II) agak tidak
stabil, karena merupakan zat pereduksi yang kuat. Ion ini bahkan
menguraikan air perlahan-lahan membentuk hidrogen. Oksigen dari atmosfer
dengan mudah mengoksidasinya menjadi ion kromium (III).
Karena ion ini jarang ditemui dalam analisis kualitatif anorganik (Svehla, G.,
1985). Ion kromium (III)
atau kromi, Cr adalah tidak stabil, dan diturunkan dari dikromium trioksida (Cr2O3). Dalam larutan hijau, terdapat
kompleks pentakuomonohidrat (III) Cr(H2O)5Cl atau
tetrakuodiklorokromat Cr(H2O)4Cl2 (klorida
boleh diganti oleh anion monovalen lainnya), sedangklan dalam larutan lembayung
terdapat ion heksakuokromat (III) Cr(H2O)6 kromium (III) sulfida,
seperti amunium sulfida, hanya dapat dibuat dalam keadaan kering, dan dengan
air ia mudah terhidrolisis dengan membentuk kromium (III) hidroksida dan hidrogen sulfida (Budavari, 1984).
2.5 Pencemaran oleh Logam
Kepadatan
penduduk, limbah industri, tata ruang yang salah dan tingginya eksploitasi
sumber daya air sangat berpengaruh pada kualitas air. Selain itu, banyak orang
yang membuang sampah, kotoran maupun limbah ke sungai. Bahkan, ada cara lain
membuang limbah berbahaya dengan menanam di kedalaman beberapa meter. Hal
inilah yang menyebabkan semakin memburuknya kualitas air.
Logam berat merupakan komponen alami
tanah. Elemen ini tidak dapat didegradasi maupun dihancurkan. Logam berat dapat
masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan, air minum, atau udara. Logam
berat seperti tembaga, selenium, atau seng dibutuhkan tubuh manusia untuk
membantu kinerja metabolisme tubuh. Akan tetapi, dapat berpotensi menjadi racun
jika konsentrasi dalam tubuh berlebih. Logam berat menjadi berbahaya disebabkan
sistem bioakumulasi, yaitu peningkatan konsentrasi unsur kimia didalam tubuh
mahluk hidup.
Logam merupakan bahan pertama yang
dikenal oleh manusia dan digunakan sebagai alat-alat yang berperan penting
dalam sejarah peradaban manusia (Darmono, 1995). Logam berat masih termasuk
golongan logam dengan kriteria-kriteria yang sama dengan logam lain.
Perbedaannya terletak dari pengaruh yang dihasilkan bila logam berat ini
berikatan dan atau masuk ke dalam organisme hidup. Berbeda dengan logam biasa,
logam berat biasanya menimbulkan efek-efek khusus pada mahluk hidup (Palar,
1994). Tidak semua logam berat dapat mengakibatkan keracunan pada mahluk hidup,
besi merupakan logam yang dibutuhkan dalam pembentukan pigmen darah dan zink
merupakan kofaktor untuk aktifitas enzim (Wilson, 1988). Keberadaan logam berat
dalam lingkungan berasal dari dua sumber. Pertama dari proses alamiah seperti
pelapukan secara kimiawi dan kegiatan geokimiawi serta dari tumbuhan dan hewan
yang membusuk. Kedua dari hasil aktivitas manusia terutama hasil limbah
industri (Connel dan Miller, 1995). Dalam neraca global sumber yang berasal
dari alam sangat sedikit dibandingkan pembuangan limbah akhir di laut (Wilson,
1988).
Logam berat adalah unsur-unsur kimia
dengan bobot jenis lebih besar dari 5 gr/cm3, terletak di sudut kanan bawah
sistem periodik, mempunyai afinitas yang tinggi terhadap unsur S dan biasanya
bernomor atom 22 sampai 92 dari perioda 4 sampai 7 (Miettinen, 1977). Sebagian
logam berat seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), dan merkuri (Hg) merupakan zat
pencemar yang berbahaya. Afinitas yang tinggi terhadap unsur S menyebabkan
logam ini menyerang ikatan belerang dalam enzim, sehingga enzim bersangkutan
menjadi tak aktif. Gugus karboksilat (-COOH) dan amina (-NH2) juga bereaksi
dengan logam berat. Kadmium, timbal, dan tembaga terikat pada sel-sel membran
yang menghambat proses transpormasi melalui dinding sel. Logam berat juga
mengendapkan senyawa fosfat biologis atau mengkatalis penguraiannya (Manahan,
1977).
Menurut Vouk (1986) terdapat 80 jenis dari 109 unsur kimia di
muka bumi ini yang telah teridentifikasi sebagai jenis logam berat. Berdasarkan
sudut pandang toksikologi, logam berat ini dapat dibagi dalam dua jenis. Jenis
pertama adalah logam berat esensial, di mana keberadaannya dalam jumlah
tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam jumlah yang
berlebihan dapat menimbulkan efek racun. Contoh logam berat ini adalah Zn, Cu,
Fe, Co, Mn dan lain sebagainya. Sedangkan jenis kedua adalah logam berat tidak
esensial atau beracun, di mana keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui
manfaatnya atau bahkan dapat bersifat racun, seperti Hg, Cd, Pb, Cr dan
lain-lain. Logam berat ini dapat menimbulkan efek kesehatan bagi manusia
tergantung pada bagian mana logam berat tersebut terikat dalam tubuh. Daya
racun yang dimiliki akan bekerja sebagai penghalang kerja enzim, sehingga
proses metabolisme tubuh terputus. Lebih jauh lagi, logam berat ini akan
bertindak sebagai penyebab alergi, mutagen, teratogen atau karsinogen bagi
manusia. Jalur masuknya adalah melalui kulit, pernapasan dan pencernaan.
2.6 Fitoremediasi
Istilah
fitoremediasi berasal dari kata Inggris phytoremediation; kata ini sendiri
tersusun atas dua bagian kata, yaitu phyto yang berasal dari kata Yunani phyton
(tumbuhan) dan remediation yang berasal dari kata Latin remedium
(menyembuhkan), dalam hal ini berarti juga (menyelesaikan masalah dengan cara
memperbaiki kesalahan atau kekurangan) (Anonimous, 1999b). Dengan demikian
fitoremediasi dapat didefinisikan sebagai: penggunaan tumbuhan untuk
menghilangkan, memindahkan, menstabilkan, atau menghancurkan bahan pencemar
baik itu senyawa organik maupun anorganik.
Fitoremediasi dapat dibagi menjadi fitoekstraksi, rizofiltrasi,
fitodegradasi, fitostabilisasi, fitovolatilisasi. Fitoekstraksi mencakup
penyerapan kontaminan oleh akar tumbuhan dan translokasi atau akumulasi senyawa
itu ke bagian tumbuhan seperti akar, daun atau batang. Rizofiltrasi adalah
pemanfaatan kemampuan akar tumbuhan untuk menyerap, mengendapkan, dan
mengakumulasi logam dari aliran limbah. Fitodegradasi adalah metabolisme
kontaminan di dalam jaringan tumbuhan, misalnya oleh enzim dehalogenase dan
oksigenase. Fitostabilisasi adalah suatu fenomena diproduksinya senyawa kimia
tertentu untuk mengimobilisasi kontaminan di daerah rizosfer. Fitovolatilisasi
terjadi ketika tumbuhan menyerap kontaminan dan melepasnya ke udara lewat daun;
dapat pula senyawa kontaminan mengalami degradasi sebelum dilepas lewat daun.
1. Phytoacumulation : tumbuhan menarik zat
kontaminan sehingga berakumulasidisekitar akar tumbuhan
2. Rhizofiltration : proses adsorpsi pengendapan zat
kontaminan oleh akar untuk menempel pada akar.
3. Phytostabilization :
penempelan zat-zat contaminan tertentu pada akar yang tidak mungkin terserap
kedalam batang tumbuhan
4. Rhyzodegradetion :
penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas microba5. Phytodegradation :
penguraian zat kontamin6. Phytovolatization : transpirasi zat contaminan oleh
tumbuhan dalam bentuk yang telahmenjadi larutan terurai sebagai bahan yang
tidak berbahaya.
2.7 Metode AAS
Atomic Absorbtion Spektrofotometry (AAS) atau
Spektrofotometeri Serapan Atom (SSA) merupakan suatu metoda analisa yang
didasarkan pada kemampuan suatu atom untuk menyerap sinar ketika atom tersebut tereksitasi
pada panjang gelombang tertentu. Setiap atom mampu menyerap sinar, walaupun
hanya pada panjang gelombang tertentu dan hal ini akan bergantung pada jumlah
enenrgi yang diperlukan atom tersebut. Biasanya metoda ini digunakan untuk
menentukan konsentrasi logam, bahan lempung dan gelas.
Sebagai contoh, atom Natrium menyerap sinar dengan
intensitas panjang gelombang pada 589,0 nm, hal ini disebabkan karena sinar
pada panjang gelombang tersebut mempunyai energi yang tepat untuk mengubah atom
natrium dari keadaan dasar (ground state) ke keadaan elektronis yang lain
(another electronic state). Transisi elektron ini bersifat khas untuk atom
natrium. Atom-atom lain akan mempunyai keadaan transisi electron yang khas pula
sehingga mereka membutuhkan jumlah energi yang berbeda dan tidak dapat menyerap
sinar pada panjang gelombang yang dibutuhkan oleh natrium.
Biasanya energi ini diukur
berdasarkan hubungannya dengan kedaan dasar. Energi eksitasi atom Na adalah
sebesar 2,2 eV diatas kedaan dasar. Ini berarti bahwa atom Na dalam keadaan
eksitasi mempunyai energi yang lebih besar 2,2 eV daripada keadaan dasarnya. Pengukuran
dengan metoda AAS dilakukan dengan mengubah keadaan atom yang akan dianalisa ke
keadaan tereksitasi. Pengubahan keadaan atom dapat dilakukan dengan pemanasan.
Biasanya sampel yang akan diamati berupa larutan. Larutan tersebut dipanaskan
untuk menguapkan pelarutnya. Dengan suhu yang lebih tinggi lagi maka akan
menyisakan logam dalam keadaan murni. Logam ini kemudian dipanaskan lagi untuk
membuatnya naik ke keadaan tereksitasi. Sinar yang diserap atom untuk
membuatnya dalam keadaan tereksitasi inilah yang akan diukur oleh alat. Jumlah
absorpsi radiasi bergantung pada jumlah elemen pada keadaan dasar yang
berbanding lurus dengan konsentrasi sampel dalam larutan.
Secara prinsip semua jenis logam dapat ditentukan
konsentrasinya dengan menggunakan metoda AAS akan tetapi ada beberapa jenis
logam yang mudah menguap seperti Hg, As, Se dan Sn. Untuk logam-logam seperti
ini, metoda AAS dilakukan dengan uap dingin (cold vapor). Pada Cold Vapor perubahan atom dari
larutan dari keadaan dasar ke tereksitasi dilakukan dengan cara reduksi, bukan
melalui pemanasan. Prosesn ini dinamakan Hidrade Generation. Untuk logam Sn biasanya direduksi dengan
menggunakan larutan asam askorbat.
Panas yang diperlukan dalam AAS sangat tinggi agar
elektron dapat berubah dari keadaan dasar ke keadaan tereksitasi. Untuk itu
diperlukan energi radiasi spesifik yang sesuai dengan jenis atom. Sumber energi
spesifik itu harus memiliki temperatur yang sesuai dengan energi yang
dibutuhkan. Jika energi yang digunakan terlalu besar maka ada kemungkinan atom
yang telah tereksitasi akan kembakli terion. Namun jika enengi yang digunakan
terlalu kecil maka tidak semua elektron akan tereksitasi sehingga hal ini
akan mengganggu analisa. Selain itu sumber energi radiasi yang digunakan harus
berasal dari unsur yang sama. Contohnya untuk analisa atom Fe maka sumber
energi radiasi yang digunakan harus berasal dari zat yang mengandung Fe atau
disebut lampu Fe.
Peralatan AAS terdiri dari tiga
komponen, yaitu :
· Sumber Radiasi atau cahaya
Sumber radiasi yang digunakan dalam
alat ini haruslah mampu memberikan garis emisi yang tajam dari suatu unsur
spesifik, yaitu lampu katoda berongga (Hollow Cathode Lamp). Lampu ini mempunyai
dua elektroda, satu elektroda berbentuk silinder dan terbuat dari unsur yang
sama dengan unsur yang akan dianalisa. Lampu ini diisi dengan gas mulia
bertekanan rendah.
· Atomizer
Alat untuk mengatomkan unsur yang akan
dianalisa disebut atomizer. Atomisasi dapat dilakukan baik dengan nyala (flame
atomizer maupun dengan tungku grafit (grafit furnace atomizer). Dalam atomizer,
unsur yang akan dianalisa dibuat bebbentuk aerosol kabut dengan alat nebulizer,
kemudian dari aerosol tadi zat-zat pengotor berukuran besar akan dipindahkan
dan dikeringkan dari air. Setelah terpisah unsur yang dianalisa dipanaskan
hingga berbentuk seperti bara dan kemudian diatomisasi.
· Detector
Detektor yang digunakan dapat berupa
PMT. Detektor pada alat berfungsi untuk menangkap sinar yang telah melewati
monokromator dan kemudian signalnya (dalam bentuk aliran listrik) diteruskan ke
output device.
Kebanyakan unsur dpat diukur dengan metoda ini, kecuali gas mulia, Cl, HF,
O, N, S, P dan halogen. Metoda ini banyak digunakan untuk menetukan unusur yang
konsentrasinya sedikit. Gangguan spektral akan sangat jarang sekali terjadi
pada AAS karena panjang gelombang gangguan spektral berada jauh dari panjang
gelombang absorpsi.
Metoda AAS merupakan suatu metoda kualitatif yang cepat apabila jumlah
element dalam larutan sedikit. Tetapi apabila jumlah element banyak maka akan
dibutuhkan waktu yang lama dan operasi ynag berulang-ulang. Untuk kasus seperti
ini maka sebaiknya digunakan Inductively
Coupled Plasma (ICP) Spectrochopy.
Untuk tujuan analisa kuantitatif diperlukan kurva
kalibrasi linier yang diadapat dari larutan standar. Batas deteksi dari
kebanykan element pada metoda absorpsi berada pada range 0,1 ppm – 5,0 ppm,
dengan tingkat keakurasian adalah 1% - 5% bergantung pada unsur yang dianalisa.
Keadaan sampel (sampel matrix) dan keadaan alat sewaktu analisa bergantung pada
tingkat kelarutan unsur tersebut terhadap asam (acid solubility) serta terhadap
jumlah unsur yang akan diukur.
BAB
III
METODOLOGI
PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
3.1.1.
Lokasi Peneltian
Penelitian
dilaksanaan di Laboratorium Kimia Jurusan Pendidikan Kimia Universitas Negeri
Gorontalo dengan menggunakan metode AAS (Atomic Absorbsion
Spektrophotometri)
3.1.2. Waktu Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan selama 3 bulan ini, bulan April-Juni 2012
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
·
Timbagan
Analitik
·
Oven
·
Hotplate
·
Gelas
Kimia
·
Kertas
saring
·
Spektrometer
Absorpsi Atom (AAS)
·
Dll
3.2.2 Bahan
·
Larutan
baku Cr 1000 mg/L
·
Larutan
HNO3
·
HClO4
60%
3.3 Cara Penyiapan Sampel
Sampel yang digunakan pada
penelitian ini adalah tanaman air yaitu eceng gondok yang di tanam dalam
aquarium. Yang setiap pagi dan sore disiram dengan larutan yang mengandung Cr 2
Mg/L. tanaman yang dipanen setelah berumur 2 dan 4 minggu. Kemudian sampel dipisahkan akar, batang, dan
daun, setelah itu dikeringkan dan dihaluskan, setelah itu dianalisis dengan
Spektrometri Serapan Atom.
3.4 Preparasi Sampel
a.
Tanaman
eceng gondok dipanen pada usia 2 dan4 minggu, kemudian dicuci bersih dan
dipisahkan akar, batang, dan daun.
b.
Sampel
dikeringkan dan dihaluskan, serbuk harus dipanaskan di oven 60-700 C
sampai bobot konstan.
c.
Masing-masing
sampel halus ditimbang sebanyak 1 gram dan ditambah HNO3 pekat dan 3 ml larutan HClO4 60%.
Kemudian sampel dipanaskan di atas hotplate pada suhu 100-120 0C
sampai buih habis dan HNO3 hampir kering.
d.
Hasil
destruksi kering ditambahkan 5,0 larutan Cr 200 mg/l (standar adisi) dan
ditambahkan HNO3 2% sampaivolumenya menjadi 100 ml dikocok homogeny
dan disaring. Perhitungan kandungan logam Cr dalam larutan menggunakan AAS
(Spektrofotometer Absorpsi Atom).
3.5 Pembuatan larutan induk Cr 1000 ppm
Larutan induk Cr 1000 ppm dibuat
dengan melarutkan 1 gr serbuk logam Cr dengan 7 ml HNO3 pekat dalam
labu ukur 1 L. kemudian diencerkan dengan aquadest sampai batas. Larutan ini
kemudian dugunakan untuk membuat konsentrasi
logam sebesar 5 ppm dan 15 ppm yang dimasukan kedalam media tanam.
Skema Kerja
v Uji Pendahuluan Terhadap Cr Pada
Eceng Gondok
Eceng
Gondok
|
·Dicuci
sampai bersih
·Dikeringkan
·
Serbuk
Abu
|
·
Dipreparasi basah dengan HNO3
ditambahkan HCl
·
Dimasukkan dalam gelas kimia dan
ditambah aquadest
· Disaring
Filtrat
|
Residu
|
·
Diuji kualitatif dengan 3 reagen
(Larutan
NH3, NaOH, H2S)
·
Diamati perubahan warna
Warna
yang dihasilkan
|
v Tanaman eceng gondok berumur 3
minggu
Bibit Eceng Gondok
|
Dalam
Aquarium
|
Umur
panen eceng gondok
|
5
minggu
|
3
minggu
|
· Dicuci dengan air sampai bersih
· Dipisahkan bagian akar,
batang, dan daunya
Daun
|
Batang
|
Akar
|
· Sampel
dikeringkan
·
Serbuk
halus
|
v Sampel akar
Sampel
halus
|
· Ditimbang
sebanyak 1 gram
· Dimasukan
dalam kurs porselin
· Dipanaskan
dalam oven 600 C-700 C sampai bobot konstan
Sampel
kering
|
·
Dimasukkan dalam finance pada suhu 5000
C, sampai abu berwarna putih
·
Sampel
abu
|
· Ditambah
10 ml HNO3 pekat
· Dipanaskan
diatas Hotplate pada suhu 100-200 0C,
sampai buih habis dan HNO3 hampir mengering
· Didinginkan
Sampel
|
·
Ditambahkan
5,0 ml larutan Cr 200 mg/l (standar adisi) dan larutan HNO3 2%
· Dipindahkan
secara kuantitatif kedalam labu ukur 100 ml
· Ditambahkan larutan HNO3 2% sampai volume 100
ml
· Dianalisis
dengan AAS
Kadar
Cr
|
Perlakuan
yang sama untuk sampel batang dan daun juga pada tanaman eceng gondok yang
berusia 5 minggu.