Selasa, 17 April 2012

Fitoremediasi Logam Cr (III) Dengan Tanaman Eceng Gondok (Eichhornia crassipes)


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Air merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan, tanpa air tidak akan ada kehidupan. Dalam kenyataannya air bukan hanya dibutuhkan manusia saja, air juga merupakan bahan yang mutlak harus ada baik untuk tumbuhan, hewan, maupun mikroorganisme, oleh karena air berfungsi dalam pertumbuhan dan perkembangan organisme hidup.
Air sering tercemar oleh komponen-komponen an organik,diantaranya berbagai logam berat yang berbahaya. Beberapa logam berat tersebut banyak digunakan dalam berbagai keperluan, oleh karena itu diproduksi secara rutin dalam skala industri. Industri-industri logam berat tersebut seharusnya mendapat pengawasan yang ketat sehingga tidak membahayakan bagi pekerja-pekerjanya maupun lingkungan di sekitarnya. Penggunaan logam-logam berat tersebut dalam berbagai keperluan sehari-hari berarti secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja telah mencemari lingkungan. Beberapa logam berat tersebut ternyata telah mencemari lingkungan melebihi batas yang berbahaya bagi kehidupan (Fardiaz, 1992)
Pencemaran logam berat merupakan masalah yang serius terhadap kondisi lingkungan saat ini. Logam berat banyak ditemukan hampir pada semua jenis limbah industri (jaleel et al., 2009a dalam  Jaleel et al 2009b :120). Semakin banyaknya industri akan menyebabkan peningkatan pencemaran terhadap sumber-sumber air yang berasal dari limbah industri yang dibuang ke perairan tanpa pengolahan terlebih dahulu. Keadaan ini akan bertambah buruk apabila perairan yang sudah tercemar tersebut digunakan menjadi irigasi pertanian dan menjadi sumber air yang digunakan masyarakat (Tn 2002 dalam Hussain et al., 2006: 1389).
Pencemaran lingkungan oleh logam berat yang berasal dari berbagai aktivitas manusia, seperti di bidang industri, pertambangan dan metalurgi memberikan dampak negatif bagi ekosistem dunia. Pencemaran yang berasal dari limbah cair industri, biasanya mengandung logam berat seperti krom, kadmium, raksa dan timbal yang semula dalam konsentrasi keeil, namun selanjutnya akan mengalami pemekatan dan menimbulkan dampak negatif khususnya terhadap kesehatan man usia.
Salah satu logam berat yang membahayakan adalah kromium. Kromium umumnya ditemukan pada limbah industri elektroplating, finishing logam (mencapai 10 mg/L), serta penyamakan kulit. Diantara beberapa bilangan oksida dari kromium (di, tri, penta dan heksa), kromium trivalen dan heksavalen keduanya paling banyak terdapat di dalam lingkungan air. Kromium trivalen mempunyai tingkat toksisitas yang lebih rendah dibandingkan kromium heksavalen, namun dalam jangka panjang dapat mengakibatkan alergi serta kanker yang membahayakan manusia.
Adanya logam berat dalam lingkungan perairan telah diketahui dapat menyebabkan beberapa kerusakan pada kehidupan air, di samping itu terdapat fakta bahwa logam tersebut membunuh mikroorganisme selama perlakuan biologis pada limbah sebagai akibat kelambatan proses pemurnian air. Hampir semua garam–garam logam berat dapat larut dalam air dan membentuk larutan sehingga tidak dapat dipisahkan dengan pemisahan fisik yang sudah biasa (Hussein, 2004).
Fitoremediasi adalah salah satu jalan untuk menyelesaikan permasalahan pencemaran logam berat dengan menggunakan tanaman, dalam prosesnya polutan dikumpulkan pada suatu jaringan dan didekomposisikan menjadi bentuk yang tidak berbahaya atau di timbun pada jaringan tanaman (Bennicelli et al., (2003). Banyak tumbuhan yang dapat menyerap logam berat dan disebut sebagai tumbuhan hiperakumulator seperti azolla (Bennicelli et al., 2003),encen gondok(Victor, et all., 2007), dan kiambang (Dhir, 2009).
Beberapa percobaan yang menggunakan fitoremidiasi diantaranya adalalah Fitoremediasi Radionuklida 134Cs Dalam Tanah Menggunakan Tanaman Bayam (Amaranthus sp.) dan penelitian tentang Fitoremediasi Air Terkontaminasi Nikel dengan Menggunakan Tanaman Ki Ambang (Salvinia molesta). Fitoremediasi Radionuklida 134Cs Dalam Tanah Menggunakan Tanaman Bayam (Amaranthus sp.) Salah satu metode pemulihan kualitas lingkungan tercemar adalah menggunakan teknik fitoremediasi. Fitoremediasi didefinisikan sebagai teknologi pembersihan, penghilangan atau pengurangan zat pencemar dalam tanah atau air dengan menggunakan bantuan tanaman. Penelitian fitoremediasi radionuklida 134Cs dalam tanah telah dilakukan menggunakan tanaman bayam dengan tujuan melihat kemampuan tanaman bayam dalam menyerap dan memindahkan radionuklida 134Cs dari dalam tanah ke tanaman bayam, serta kemungkinannya digunakan sebagai fitoremediator radionuklida 134Cs dalam tanah. Penelitian ini bertujuan juga untuk melihat pengaruh penambahan EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid) pada proses pelepasan radionuklida 134Cs dalam tanah dan yang diserap oleh tanaman. Kegiatan penelitian dilakukan dengan menanam tanaman bayam pada media tanah yang dikontaminasi radionuklida 134Cs dengan konsentrasi awal 121,09 Bq/g dan 134Cs+EDTA dengan konsentrasi awal 122,08 Bq/g. Sebagai pembanding dilakukan penanaman tanaman bayam pada media tanah yang tidak dikontaminasi 134Cs. Pengamatan dilakukan seminggu sekali dengan cara mengambil 3 sampel tanaman dan tanah di sekitar tanaman, yang dikontaminasi maupun pembanding. Sampel tanaman dipisahkan antara bagian akar, batang, dan daun. Sampel tanaman dan tanah dikeringkan dengan oven lalu ditimbang dan dicacah dengan spektrometer gamma. Dari hasil pencacahan diperoleh bahwa konsentrasi radionuklida 134Cs dalam tanah berkurang, sementara di tanaman bayam meningkat. Dari perhitungan diperoleh faktor transfer radionuklida 134Cs dari tanah ke tanaman adalah 34,80 untuk media tanah yang diberi kontaminasi 134Cs dan 43,58 untuk media tanah yang diberi kontaminasi 134Cs+EDTA. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tanaman bayam dapat digunakan sebagai fitoremediator tanah yang terkontaminasi radionuklida Cs. Dengan penambahan EDTA, radionuklida 134Cs yang terikat dalam tanah mudah terlepas sehingga banyak berada dalam rongga tanah dan diserap oleh tanaman.
 Penelitian tentang fitoremediasi air terkontaminasi nikel dengan menggunakan tanaman Ki Ambang (Salvinia molesta). Studi terdahulu oleh Srivastav (1994), menunjukkan bahwa Salvinia molesta mampu mengurangi kandungan nikel dalam media fitoremediasi dengan prosentase penurunan ion logam nikel dalam media fitoremediasi mencapai 56-96 % dalam waktu 14 hari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya akumulasi Ni pada organ akar dan non akar (batang dan daun) pada Salvinia molesta dan nilai Faktor Transfer (FT). Media fitoremediasi berupa larutan NiCl2 dengan konsentrasi 0, 3 dan 6 mg/l dimasukkan dalam 3 bak dengan volume masing-masing bak sebanyak 2,5 liter. Salvinia molesta yang digunakan sebanyak 140 gram berat basah untuk masing-masing bak perlakuan. Pengukuran konsentrasi Ni dalam tanaman dan media dilakukan pada hari ke 0, 6 dan 12 menggunakan AAS. Data konsentrasi Ni pada tanaman dan media digunakan untuk menghitung Faktor Transfer (FT) yang kemudian dianalisa secara deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akumulasi Ni di organ akar lebih tinggi daripada di organ non akar (batang dan daun). Hasil pengukuran konsentrasi Ni pada organ akar pada hari ke-0, 6 dan 12 untuk kontrol adalah 0,04; 0,03 dan 0,05 mg/kg, konsentrasi NiCl2 3 mg/l sebesar 0,15; 1,38 dan 2,3 dan konsentrasi NiCl2 6 mg/l sebesar 0,13; 2,63 dan 5,13 mg/kg. Sedangkan pada organ non akar untuk kontrol sebesar 0,02; 0,07 dan 0,04 mg/kg, konsentrasi NiCl2 sebesar 0,15; 0,59 dan 1,09 mg/kg dan konsentrasi NiCl2 6 mg/l sebesar 0,13; 0,98 dan 4,3 mg/kg. Nilai Faktor Transfer (FT) tertinggi diperoleh pada hari ke-12 pemaparan untuk konsentrasi NiCl2 3 mg/l yaitu sebesar 4,75 l/kg, sehingga Salvinia molesta dapat dikategorikan sebagai metal accumulator species.



1.2 Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka perumusan masalah adalah bagaimana daya serap tumbuhan eceng gondok terhadap logam Cr (III)
1.3 Tujuan Penelitian
            Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui sejauh mana daya serap tumbuhan eceng gondok terhadal logam Cr (III)
1.4 Manfaat Penelitian
            Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.    Sebagai informasi bagaimana daya serap eceng gondok terhadap logam Cr (III)
2.    Sebagai dasar penelitian yang lebih lanjut tentang penggunaan eceng gondok untuk bioremediasi limbah berbahaya











BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Eceng Gondok
            Eceng Gondok adalah Tanaman asal Brasil yang didatangkan Kebun Raya Bogor pada tahun 1894, dahulu merupakan tanaman hias yang digandrungi karena bunganya yang berwarna ungu sangat menarik sebagai penghias kolam seperti Teratai. Eceng gondok atau enceng gondok (Eichhornia crassipes) adalah salah satu jenis tumbuhan air mengapung. Selain dikenal dengan nama eceng gondok, di beberapa daerah di Indonesia, eceng gondok mempunyai nama lain seperti di daerah Palembang dikenal dengan nama Kelipuk, di Lampung dikenal dengan nama Ringgak, di Dayak dikenal dengan nama Ilung-ilung, di Manado dikenal dengan nama Tumpe. Eceng gondok pertama kali ditemukan secara tidak sengaja oleh seorang ilmuwan bernama Carl Friedrich Philipp von Martius, seorang ahli botani berkebangsaan Jerman pada tahun 1824 ketika sedang melakukan ekspedisi di Sungai Amazon Brasil. Eceng gondok memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi sehingga tumbuhan ini dianggap sebagai gulma yang dapat merusak lingkungan perairan. Eceng gondok dengan mudah menyebar melalui saluran air ke badan air lainnya. (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/EcengGondok.html)
            Eceng Gondok yang bahasa latinnya bernama Eichornia Crassipes, merupakan gulma air yang sering bikin gondok para petani, karena tumbuh di sawah berebut unsur hara dengan tanaman budidaya (padi). Eceng gondok hidup mengapung di air dan kadang-kadang berakar dalam tanah. Tingginya sekitar 0,4 - 0,8 meter. Tidak mempunyai batang. Daunnya tunggal dan berbentuk oval. Ujung dan pangkalnya meruncing, pangkal tangkai daun menggelembung. Permukaan daunnya licin dan berwarna hijau. Bunganya termasuk bunga majemuk, berbentuk bulir, kelopaknya berbentuk tabung. Bijinya berbentuk bulat dan berwarna hitam. Buahnya kotak beruang tiga dan berwarna hijau. Akarnya merupakan akar serabut.
Eceng Gondok yang pada mulanya hanya dikenal sebagai tanaman gulma air, karena pertumbuhannya yang begitu cepat sehingga menutupi permukaan air, dan menimbulkan dampak pada menurunnya produksi di sektor perikanan juga menimbulkan permasalahan lingkungan lainnya, seperti cepatnya penguapan perairan. Namun, dilain sisi Eceng Gondok juga memberikan nilai tambah yang cukup prospektif.
2.2  Klasifikasi Eceng Gondok
           






·         Kerajaan                      : Plantae
·         Divisi                           : Magnoliophyta
·         Kelas                           : Liliopsida
·         Ordo                            : Commelinales
·         Famili                          : Pontederiaceae
·         Genus                          : Eichhornia
·         Kunth Spesies             : E. crassipes
Tanaman eceng gondok merupakan tanaman air yang mempunyai beberapa keunggulan dalam kegiatan fotosintesis, penyediaan oksigen, dan penyerapan sinar matahari. Bagian dinding permukaan akar, batang, dan daunmemiliki lapisan yang sangat peka sehingga pada kedalaman yang ekstrem sampai8 meter dibawah permukaan air masih mampu menyerap sinar matahari serta zat-zat yang terlarut dibawah permukaan air. Akar, batang dan daunya juga memilikikantung-kantung udara sehingga mampu mengapung di air.
Tangkai eceng gondok menggembung, di dalam gembungannya tersebut terdapat udara yang berfungsi membantu pengapungan tanaman pada permukaan air.udara yang terdapat di dalam rongga udara ini diperoleh dari hasilfotosintesis. Menurut Pandey ( 1980 ) Rongga udara selain sebagai  alat pengapungan juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan oksigen dari prosesfotosintesis. Oksigen ini digunakan untuk respirasi tumbuhan di malam haridengan menghasilkan karbondioksida yang akan terlepas ke dalam air.
Eceng gondok tumbuh di kolam-kolam dangkal, tanah basah dan rawa, aliran air yang lambat, danau, tempat penampungan air dan sungai. Tumbuhan ini dapat beradaptasi dengan perubahan yang ekstrem dari ketinggian air, arus air, dan perubahan ketersediaan nutrien, pH, temperatur dan racun-racun dalam air.[3] Pertumbuhan eceng gondok yang cepat terutama disebabkan oleh air yang mengandung nutrien yang tinggi, terutama yang kaya akan nitrogen, fosfat dan potasium (Laporan FAO). Kandungan garam dapat menghambat pertumbuhan eceng gondok seperti yang terjadi pada danau-danau di daerah pantai Afrika Barat, di mana eceng gondok akan bertambah sepanjang musim hujan dan berkurang saat kandungan garam naik pada musim kemarau. (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/EcengGondok.html)
Berikut ini adalh bagian-bagian dari enceng gondok :
a.    Akar
Bagian ini ditumbuhi dengan bulu-bulu akar yang berserabut berfungsi untuk pegangan atau jangkar tanaman.peran akar enceng gondok lebih ke kemampuannya menyerap zat-zat yang diperlukan dalam air. Pada ujung akar terdapat kantung akar yang mana dibawah sinar matahari akan berwarna merah, susunan akarnya dapat mengumpulkan lumpur dan partikel-partikel zat yang terlarut dalam air.
b.    Daun
Tergolong makrofita yang terletak diatas permukaan air yang didalamnya terdapat rongga udara sebagai alat pengapung tanaman. Permukaan atas daun dipenuhi mulut daun dan bulu daun.
c.    Tangkai
Tangkai enceng gondok berbentuk bulat menggelembung yang didalamnya penuh dengan rongga udara yang berperan untuk mengapungkan tanaman dipermukaan air.    


2.3 Penyerapan enceng gondok terhadap logam berat
            Dewasa ini, pencemaran logam berat merupakan salah satu permasalahan yang banyak dihadapi oleh ekosistem perairan. Umumnya, upaya penanganan pencemaran logam berat memerlukan biaya yang cukup mahal. Namun, eceng gondok menawarkan pemecahan masalah tersebut dengan biaya yang cukup murah. Beberapa logam berat yang sering mencemari ekosistem perairan diantaranya Fe, Mg, Mn, Pb, dan Ni.
Tanaman eceng gondok ini ternyata mempunyai peranan yang besar dalam menurunkan kadar bahan pencemar di lingkungan. Bebempa tumbuhan air yang dapat menyerap logam-logam berat antara lain kayu apu, eceng gondok, kayambang, teratai dan lainnya. Tumbuhan air ini mampu menurunkan kadar logam berat termasuk logam krom (Cr) yang ada pada perairan (Ulfin,2000). Eceng gondok selama ini lebih dikenal sebagai tanaman gulma alias hama. Padahal, eceng gondok sebenarnya punya kemampuan menyerap logam berat. Kemampuan ini telah diteliti di laboratorium Biokimia, Institut Pertanian Bogor, dengan hasil yang sangat luar biasa.
Walaupun eceng gondok dianggap sebagai gulma di perairan, tetapi sebenarnya ia berperan dalam menangkap polutan logam berat. Rangkaian penelitian seputar kemampuan eceng gondok oleh peneliti Indonesia antara lain oleh Widyanto dan Susilo (1977) yang melaporkan dalam waktu 24 jam eceng gondok mampu menyerap logam kadmium (Cd), merkuri (Hg), dan nikel (Ni), masing-masing sebesar 1,35 mg/g, 1,77 mg/g, dan 1,16 mg/g bila logam itu tak bercampur. Eceng gondok juga menyerap Cd 1,23 mg/g, Hg 1,88 mg/g dan Ni 0,35 mg/g berat kering apabila logam-logam itu berada dalam keadaan tercampur dengan logam lain. Lubis dan Sofyan (1986) menyimpulkan logam chrom (Cr) dapat diserap oleh eceng gondok secara maksimal pada pH 7. Dalam penelitiannya, logam Cr semula berkadar 15 ppm turun hingga 51,85 persen.
Selain dapat menyerap logam berat, eceng gondok dilaporkan juga mampu menyerap residu pestisida, contohnya residu 2.4-D dan paraquat.
Pada percobaan Chossi dan Husin (1977) diketahui eceng gondok mampu menyerap residu dari larutan yang mengandung 0,50 ppm 2.4-D sebanyak 0,296 ppm dan 2,00 ppm 2.4-D sebanyak 0,830 ppm dalam waktu 96 jam.
Adapun paraquat yang diserap oleh eceng gondok dari dua kadar, yaitu 0,05 ppm dan 0,10 ppm masing-masing adalah 0,02 ppm dan 0,024 ppm.
Dari hasil penelitian-penelitian itu dapat disimpulkan ternyata eceng gondok tidaklah
sia-sia dicipta oleh Tuhan Yang Maha Esa, apalagi sebagai pengganggu manusia. Eceng gondok dapat dinyatakan sebagai pembersih alami perairan waduk atau danau terhadap polutan, baik logam berat maupun pestisida atau yang lain.    
Rangkaian penelitian seputar kemampuan eceng gondok dalam menyerap logam berat oleh peneliti Indonesia sudah di lakukan antara lain oleh Widyanto dan Susilo (1977) yang melaporkan dalam waktu 24 jam eceng gondok mampu menyerap logam kadmium (Cd), merkuri (Hg), dan nikel (Ni), masing- masing sebesar 1,35 mg/g, 1,77 mg/g, dan 1,16 mg/g bila logam itu tak bercampur. Eceng gondok juga menyerap Cd 1,23 mg/g, Hg 1,88 mg/g dan Ni 0,35 mg/g berat kering apabila logam-logam itu berada dalam keadaan tercampur dengan logam lain. Lubis dan Sofyan (1986) menyimpulkan logam chrom (Cr) dapat diserap oleh eceng gondok secara maksimal pada pH 7. Dalam penelitiannya, logam Cr semula berkadar 15 ppm turun hingga 51,85 %. Sedangkan penelitian Tommy (2009) juga menunjukkan bahwa eceng gondok mampu menyerap logam berat sampai 42,42 ppm dan masih banyak lagi penelitian – penelitian tentang kemampuan eceng gondok dalam menyerap logam berat sampai saat ini.
Menurut Widyanto dan Suselo (1977), kemampuan eceng gondok dalam menyerap logam berat tergantung pada beberapa hal, seperti jenis logam berat dan umur gulma. Penyerapan logam berat per satuan berat kering tersebut lebih tinggi pada umur muda daripada umur tua. Logam berat beracun yang dapat diserap oleh eceng gondok terhadap berat keringnya adalah Cd (1,35 mg/g), Hg (1,77 mg/g), dan Ni (1,16 mg/g) dengan larutan yang masing-masing mengandung logam berat sebesar 3 ppm. Muramoto dan Oki (1983) mengungkapkan, eceng gondok mampu menyerap logam berat Cd sebesar 1,24 mg/g; Pb sebesar 1,93 mg/g; dan Hg sebesar 0,98 mg/g terhadap berat keringnya yang ditumbuhkan dalam media yang mengandung logam berat 1 ppm. Sementara itu, hasil percobaan Chigbo et al. (1980) menunjukkan, Hg dan As yang mampu diserap oleh logam berat masing-masing sebesar 2,23 dan 3,28 mg/g dari berat keringnya.
2..4 Logam Kromium
Kromium adalah sebuah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki lambang Cr dan nomor atom 24. Kromium trivalen (Cr(III), atau Cr3+) diperlukan dalam jumlah kecil dalam metabolisme gula pada manusia. Kekurangan kromium trivalen dapat menyebabkan penyakit yang disebut penyakit kekurangan kromium (chromium deficiency).
Kromium merupakan logam tahan korosi (tahan karat) dan dapat dipoles menjadi mengkilat. Dengan sifat ini, kromium (krom) banyak digunakan sebagai pelapis pada ornamen-ornamen bangunan, komponen kendaraan, seperti knalpot pada sepeda motor, maupun sebagai pelapis perhiasan seperti emas, emas yang dilapisi oleh kromium ini lebih dikenal dengan sebutan emas putih.
Logam kromium bersifat keras, memiliki daya tahan tinggi terhadap zat-zat kimia dan memiliki kilat tinggi sehingga dipakai sebagai pelapis pada besi. Tingkat oksidasi utama bagi kromium adalah +2, +3, dan +6. yang paling stabil adalah +3. senyawa Cr (IV) dan (V) mudah mengalami proses disproporsional menjadi Cr (III) dan juga Cr (VI). Cr (III) bersifat reduktor sedangkan Cr (IV) bersifat oksidator, ion kromat berwarna kuning dan ion dikromat berwarna jingga. Bila nilai pH larutan kromat dikurangi (ditambah asam), maka larutan berubah warna sampai munculnya warna jingga dari ion dikromat. Reaksi ini bisa dibalikkn dengan meningkatnya nilai pH (Swarat, 2003).
            Kromium tahan korosi, karenanya digunakan sebagai lapisan pelindung pada lapisan elektrofilik. Ia mudah larut dalam HCl, H2SO4, dan HClO4­ tetapi menjadi pasif oleh HNO3 (Cotton dan Wilkinson, 1989).  Ion kromium (II), Cr2+ diturunkan dari kromium (II) oksida, CrO.  Ion ini membentuk larutan yang berwarna biru.   Ion kromium (II) agak tidak stabil, karena merupakan zat pereduksi yang kuat.  Ion ini bahkan menguraikan air perlahan-lahan membentuk hidrogen.  Oksigen dari atmosfer dengan mudah mengoksidasinya menjadi ion kromium (III).  Karena ion ini jarang ditemui dalam analisis kualitatif anorganik (Svehla, G., 1985). Ion kromium (III) atau kromi, Cr adalah tidak stabil, dan diturunkan dari dikromium trioksida (Cr2O3).  Dalam larutan hijau, terdapat kompleks pentakuomonohidrat (III) Cr(H2O)5Cl atau tetrakuodiklorokromat Cr(H2O)4Cl2 (klorida boleh diganti oleh anion monovalen lainnya), sedangklan dalam larutan lembayung terdapat ion heksakuokromat (III) Cr(H2O)6 kromium (III) sulfida, seperti amunium sulfida, hanya dapat dibuat dalam keadaan kering, dan dengan air ia mudah terhidrolisis dengan membentuk kromium (III) hidroksida dan hidrogen sulfida (Budavari, 1984).
2.5 Pencemaran oleh Logam
            Kepadatan penduduk, limbah industri, tata ruang yang salah dan tingginya eksploitasi sumber daya air sangat berpengaruh pada kualitas air. Selain itu, banyak orang yang membuang sampah, kotoran maupun limbah ke sungai. Bahkan, ada cara lain membuang limbah berbahaya dengan menanam di kedalaman beberapa meter. Hal inilah yang menyebabkan semakin memburuknya kualitas  air.
            Logam berat merupakan komponen alami tanah. Elemen ini tidak dapat didegradasi maupun dihancurkan. Logam berat dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan, air minum, atau udara. Logam berat seperti tembaga, selenium, atau seng dibutuhkan tubuh manusia untuk membantu kinerja metabolisme tubuh. Akan tetapi, dapat berpotensi menjadi racun jika konsentrasi dalam tubuh berlebih. Logam berat menjadi berbahaya disebabkan sistem bioakumulasi, yaitu peningkatan konsentrasi unsur kimia didalam tubuh mahluk hidup.
            Logam merupakan bahan pertama yang dikenal oleh manusia dan digunakan sebagai alat-alat yang berperan penting dalam sejarah peradaban manusia (Darmono, 1995). Logam berat masih termasuk golongan logam dengan kriteria-kriteria yang sama dengan logam lain. Perbedaannya terletak dari pengaruh yang dihasilkan bila logam berat ini berikatan dan atau masuk ke dalam organisme hidup. Berbeda dengan logam biasa, logam berat biasanya menimbulkan efek-efek khusus pada mahluk hidup (Palar, 1994). Tidak semua logam berat dapat mengakibatkan keracunan pada mahluk hidup, besi merupakan logam yang dibutuhkan dalam pembentukan pigmen darah dan zink merupakan kofaktor untuk aktifitas enzim (Wilson, 1988). Keberadaan logam berat dalam lingkungan berasal dari dua sumber. Pertama dari proses alamiah seperti pelapukan secara kimiawi dan kegiatan geokimiawi serta dari tumbuhan dan hewan yang membusuk. Kedua dari hasil aktivitas manusia terutama hasil limbah industri (Connel dan Miller, 1995). Dalam neraca global sumber yang berasal dari alam sangat sedikit dibandingkan pembuangan limbah akhir di laut (Wilson, 1988).
            Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan bobot jenis lebih besar dari 5 gr/cm3, terletak di sudut kanan bawah sistem periodik, mempunyai afinitas yang tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari perioda 4 sampai 7 (Miettinen, 1977). Sebagian logam berat seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), dan merkuri (Hg) merupakan zat pencemar yang berbahaya. Afinitas yang tinggi terhadap unsur S menyebabkan logam ini menyerang ikatan belerang dalam enzim, sehingga enzim bersangkutan menjadi tak aktif. Gugus karboksilat            (-COOH) dan amina (-NH2) juga bereaksi dengan logam berat. Kadmium, timbal, dan tembaga terikat pada sel-sel membran yang menghambat proses transpormasi melalui dinding sel. Logam berat juga mengendapkan senyawa fosfat biologis atau mengkatalis penguraiannya (Manahan, 1977).
Menurut Vouk (1986) terdapat 80 jenis dari 109 unsur kimia di muka bumi ini yang telah teridentifikasi sebagai jenis logam berat. Berdasarkan sudut pandang toksikologi, logam berat ini dapat dibagi dalam dua jenis. Jenis pertama adalah logam berat esensial, di mana keberadaannya dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam jumlah yang berlebihan dapat menimbulkan efek racun. Contoh logam berat ini adalah Zn, Cu, Fe, Co, Mn dan lain sebagainya. Sedangkan jenis kedua adalah logam berat tidak esensial atau beracun, di mana keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya atau bahkan dapat bersifat racun, seperti Hg, Cd, Pb, Cr dan lain-lain. Logam berat ini dapat menimbulkan efek kesehatan bagi manusia tergantung pada bagian mana logam berat tersebut terikat dalam tubuh. Daya racun yang dimiliki akan bekerja sebagai penghalang kerja enzim, sehingga proses metabolisme tubuh terputus. Lebih jauh lagi, logam berat ini akan bertindak sebagai penyebab alergi, mutagen, teratogen atau karsinogen bagi manusia. Jalur masuknya adalah melalui kulit, pernapasan dan pencernaan.
2.6 Fitoremediasi
            Istilah fitoremediasi berasal dari kata Inggris phytoremediation; kata ini sendiri tersusun atas dua bagian kata, yaitu phyto yang berasal dari kata Yunani phyton (tumbuhan) dan remediation yang berasal dari kata Latin remedium (menyembuhkan), dalam hal ini berarti juga (menyelesaikan masalah dengan cara memperbaiki kesalahan atau kekurangan) (Anonimous, 1999b). Dengan demikian fitoremediasi dapat didefinisikan sebagai: penggunaan tumbuhan untuk menghilangkan, memindahkan, menstabilkan, atau menghancurkan bahan pencemar baik itu senyawa organik maupun anorganik.
Fitoremediasi dapat dibagi menjadi fitoekstraksi, rizofiltrasi, fitodegradasi, fitostabilisasi, fitovolatilisasi. Fitoekstraksi mencakup penyerapan kontaminan oleh akar tumbuhan dan translokasi atau akumulasi senyawa itu ke bagian tumbuhan seperti akar, daun atau batang. Rizofiltrasi adalah pemanfaatan kemampuan akar tumbuhan untuk menyerap, mengendapkan, dan mengakumulasi logam dari aliran limbah. Fitodegradasi adalah metabolisme kontaminan di dalam jaringan tumbuhan, misalnya oleh enzim dehalogenase dan oksigenase. Fitostabilisasi adalah suatu fenomena diproduksinya senyawa kimia tertentu untuk mengimobilisasi kontaminan di daerah rizosfer. Fitovolatilisasi terjadi ketika tumbuhan menyerap kontaminan dan melepasnya ke udara lewat daun; dapat pula senyawa kontaminan mengalami degradasi sebelum dilepas lewat daun.
1.  Phytoacumulation : tumbuhan menarik zat kontaminan sehingga berakumulasidisekitar akar tumbuhan
2. Rhizofiltration         : proses adsorpsi pengendapan zat kontaminan oleh akar untuk menempel pada akar.
3. Phytostabilization : penempelan zat-zat contaminan tertentu pada akar yang tidak mungkin terserap kedalam batang tumbuhan
4. Rhyzodegradetion : penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas microba5. Phytodegradation : penguraian zat kontamin6. Phytovolatization : transpirasi zat contaminan oleh tumbuhan dalam bentuk yang telahmenjadi larutan terurai sebagai bahan yang tidak berbahaya.
2.7 Metode AAS
            Atomic Absorbtion Spektrofotometry (AAS) atau Spektrofotometeri Serapan Atom (SSA) merupakan suatu metoda analisa yang didasarkan pada kemampuan suatu atom untuk menyerap sinar ketika atom tersebut tereksitasi pada panjang gelombang tertentu. Setiap atom mampu menyerap sinar, walaupun hanya pada panjang gelombang tertentu dan hal ini akan bergantung pada jumlah enenrgi yang diperlukan atom tersebut. Biasanya metoda ini digunakan untuk menentukan konsentrasi logam, bahan lempung dan gelas.
            Sebagai contoh, atom Natrium menyerap sinar dengan intensitas panjang gelombang pada 589,0 nm, hal ini disebabkan karena sinar pada panjang gelombang tersebut mempunyai energi yang tepat untuk mengubah atom natrium dari keadaan dasar (ground state) ke keadaan elektronis yang lain (another electronic state). Transisi elektron ini bersifat khas untuk atom natrium. Atom-atom lain akan mempunyai keadaan transisi electron yang khas pula sehingga mereka membutuhkan jumlah energi yang berbeda dan tidak dapat menyerap sinar pada panjang gelombang yang dibutuhkan oleh natrium.
            Biasanya energi ini diukur berdasarkan hubungannya dengan kedaan dasar. Energi eksitasi atom Na adalah sebesar 2,2 eV diatas kedaan dasar. Ini berarti bahwa atom Na dalam keadaan eksitasi mempunyai energi yang lebih besar 2,2 eV daripada keadaan dasarnya. Pengukuran dengan metoda AAS dilakukan dengan mengubah keadaan atom yang akan dianalisa ke keadaan tereksitasi. Pengubahan keadaan atom dapat dilakukan dengan pemanasan. Biasanya sampel yang akan diamati berupa larutan. Larutan tersebut dipanaskan untuk menguapkan pelarutnya. Dengan suhu yang lebih tinggi lagi maka akan menyisakan logam dalam keadaan murni. Logam ini kemudian dipanaskan lagi untuk membuatnya naik ke keadaan tereksitasi. Sinar yang diserap atom untuk membuatnya dalam keadaan tereksitasi inilah yang akan diukur oleh alat. Jumlah absorpsi radiasi bergantung pada jumlah elemen pada keadaan dasar yang berbanding lurus dengan konsentrasi sampel dalam larutan.
            Secara prinsip semua jenis logam dapat ditentukan konsentrasinya dengan menggunakan metoda AAS akan tetapi ada beberapa jenis logam yang mudah menguap seperti Hg, As, Se dan Sn. Untuk logam-logam seperti ini, metoda AAS dilakukan dengan uap dingin (cold vapor). Pada Cold Vapor  perubahan atom dari larutan dari keadaan dasar ke tereksitasi dilakukan dengan cara reduksi, bukan melalui pemanasan. Prosesn ini dinamakan Hidrade Generation. Untuk logam Sn biasanya direduksi dengan menggunakan larutan asam askorbat.
            Panas yang diperlukan dalam AAS sangat tinggi agar elektron dapat berubah dari keadaan dasar ke keadaan tereksitasi. Untuk itu diperlukan energi radiasi spesifik yang sesuai dengan jenis atom. Sumber energi spesifik itu harus memiliki temperatur yang sesuai dengan energi yang dibutuhkan. Jika energi yang digunakan terlalu besar maka ada kemungkinan atom yang telah tereksitasi akan kembakli terion. Namun jika enengi yang digunakan terlalu kecil maka tidak semua elektron akan  tereksitasi sehingga hal ini akan mengganggu analisa. Selain itu sumber energi radiasi yang digunakan harus berasal dari unsur yang sama. Contohnya untuk analisa atom Fe maka sumber energi radiasi yang digunakan harus berasal dari zat yang mengandung Fe atau disebut lampu Fe.
Peralatan AAS terdiri dari tiga komponen, yaitu :
·      Sumber Radiasi atau cahaya
Sumber radiasi yang digunakan dalam alat ini haruslah mampu memberikan garis emisi yang tajam dari suatu unsur spesifik, yaitu lampu katoda berongga (Hollow Cathode Lamp). Lampu ini mempunyai dua elektroda, satu elektroda berbentuk silinder dan terbuat dari unsur yang sama dengan unsur yang akan dianalisa. Lampu ini diisi dengan gas mulia bertekanan rendah.
·      Atomizer
Alat untuk mengatomkan unsur yang akan dianalisa disebut atomizer. Atomisasi dapat dilakukan baik dengan nyala (flame atomizer maupun dengan tungku grafit (grafit furnace atomizer). Dalam atomizer, unsur yang akan dianalisa dibuat bebbentuk aerosol kabut dengan alat nebulizer, kemudian dari aerosol tadi zat-zat pengotor berukuran besar akan dipindahkan dan dikeringkan dari air. Setelah terpisah unsur yang dianalisa dipanaskan hingga berbentuk seperti bara dan kemudian diatomisasi.
·      Detector
Detektor yang digunakan dapat berupa PMT. Detektor pada alat berfungsi untuk menangkap sinar yang telah melewati monokromator dan kemudian signalnya (dalam bentuk aliran listrik) diteruskan ke output device.
Kebanyakan unsur dpat diukur dengan metoda ini, kecuali gas mulia, Cl, HF, O, N, S, P dan halogen. Metoda ini banyak digunakan untuk menetukan unusur yang konsentrasinya sedikit. Gangguan spektral akan sangat jarang sekali terjadi pada AAS karena panjang gelombang gangguan spektral berada jauh dari panjang gelombang absorpsi.
Metoda AAS merupakan suatu metoda kualitatif yang cepat apabila jumlah element dalam larutan sedikit. Tetapi apabila jumlah element banyak maka akan dibutuhkan waktu yang lama dan operasi ynag berulang-ulang. Untuk kasus seperti ini maka sebaiknya digunakan Inductively Coupled Plasma (ICP) Spectrochopy.
            Untuk tujuan analisa kuantitatif diperlukan kurva kalibrasi linier yang diadapat dari larutan standar. Batas deteksi dari kebanykan element pada metoda absorpsi berada pada range 0,1 ppm – 5,0 ppm, dengan tingkat keakurasian adalah 1% - 5% bergantung pada unsur yang dianalisa. Keadaan sampel (sampel matrix) dan keadaan alat sewaktu analisa bergantung pada tingkat kelarutan unsur tersebut terhadap asam (acid solubility) serta terhadap jumlah unsur yang akan diukur.







BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
3.1.1. Lokasi Peneltian
          Penelitian dilaksanaan di Laboratorium Kimia Jurusan Pendidikan Kimia Universitas Negeri Gorontalo dengan menggunakan metode AAS (Atomic Absorbsion Spektrophotometri)
3.1.2. Waktu Penelitian
          Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan ini, bulan April-Juni 2012
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
·  Timbagan Analitik
·  Oven
·  Hotplate
·  Gelas Kimia
·  Kertas saring
·  Spektrometer Absorpsi Atom (AAS)
·  Dll
3.2.2 Bahan
·  Larutan baku Cr 1000 mg/L
·  Larutan HNO3
·  HClO4 60%

3.3 Cara Penyiapan Sampel
            Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah tanaman air yaitu eceng gondok yang di tanam dalam aquarium. Yang setiap pagi dan sore disiram dengan larutan yang mengandung Cr 2 Mg/L. tanaman yang dipanen setelah berumur 2 dan 4 minggu.  Kemudian sampel dipisahkan akar, batang, dan daun, setelah itu dikeringkan dan dihaluskan, setelah itu dianalisis dengan Spektrometri Serapan Atom.
3.4 Preparasi Sampel
a.         Tanaman eceng gondok dipanen pada usia 2 dan4 minggu, kemudian dicuci bersih dan dipisahkan akar, batang, dan daun.
b.        Sampel dikeringkan dan dihaluskan, serbuk harus dipanaskan di oven 60-700 C sampai bobot konstan.
c.         Masing-masing sampel halus ditimbang sebanyak 1 gram dan ditambah HNO3  pekat dan 3 ml larutan HClO4 60%. Kemudian sampel dipanaskan di atas hotplate pada suhu 100-120 0C sampai buih habis dan HNO3 hampir kering.
d.        Hasil destruksi kering ditambahkan 5,0 larutan Cr 200 mg/l (standar adisi) dan ditambahkan HNO3 2% sampaivolumenya menjadi 100 ml dikocok homogeny dan disaring. Perhitungan kandungan logam Cr dalam larutan menggunakan AAS (Spektrofotometer Absorpsi Atom).
3.5 Pembuatan larutan induk Cr 1000 ppm
            Larutan induk Cr 1000 ppm dibuat dengan melarutkan 1 gr serbuk logam Cr dengan 7 ml HNO3 pekat dalam labu ukur 1 L. kemudian diencerkan dengan aquadest sampai batas. Larutan ini kemudian dugunakan untuk membuat konsentrasi  logam sebesar 5 ppm dan 15 ppm yang dimasukan kedalam media tanam.




















Skema Kerja
v  Uji Pendahuluan Terhadap Cr Pada Eceng Gondok
Eceng Gondok
                                                                                

·Dicuci sampai  bersih
·Dikeringkan
·
Serbuk Abu
Diabukan dalam tungku pengabuan

·      Dipreparasi basah dengan HNO3 ditambahkan HCl
·      Dimasukkan dalam gelas kimia dan ditambah aquadest
·      Disaring
Filtrat
Residu
 



·      Diuji kualitatif dengan 3 reagen
(Larutan NH3, NaOH, H2S)
·      Diamati perubahan warna
Warna yang dihasilkan
 









v  Tanaman eceng gondok berumur 3 minggu
Bibit Eceng Gondok
                                                                         

Dalam Aquarium
  Ditumbuhkan dalam aquarium

Umur panen eceng gondok
Setiap pagi dan sore disiram dengan larutan Cr 2 mg/l  sebanyak 1 liter

5 minggu
3 minggu
 




·  Dicuci dengan air sampai bersih
· Dipisahkan bagian akar, batang, dan daunya
Daun
Batang
Akar
 



·      Sampel dikeringkan
·     
Serbuk halus
Dihaluskan






v   Sampel akar
Sampel halus
 


·      Ditimbang sebanyak 1 gram
·      Dimasukan dalam kurs porselin
·      Dipanaskan dalam oven 600 C-700 C sampai bobot konstan
Sampel kering
 


·      Dimasukkan dalam finance pada suhu 5000 C, sampai  abu berwarna putih
·     
Sampel abu
ditimbang

·      Ditambah 10 ml HNO3 pekat
·      Dipanaskan diatas Hotplate pada suhu 100-200 0C, sampai buih habis dan HNO3 hampir mengering
·      Didinginkan
Sampel
 


·      Ditambahkan 5,0 ml larutan Cr 200 mg/l (standar adisi) dan larutan HNO3 2%
·      Dipindahkan secara kuantitatif kedalam labu ukur 100 ml
·      Ditambahkan  larutan HNO3 2% sampai volume 100 ml
·      Dianalisis dengan AAS
Kadar Cr
 


Perlakuan yang sama untuk sampel batang dan daun juga pada tanaman eceng gondok yang berusia  5 minggu.